Organisasi Kecil tapi Keluarga Besar : LANGUAGE FOUNDATION




Dibalik Pelepasan Siswa

Jika melihat kisah kilas balik masa lalu, yang terpikirkan di otak saya adalah kenangan baik dan kenangan buruk dari apa yang sudah saya alami, sama halnya dengan dengan teman – teman. Jika diingat kembali saya dapat melihat senyum mereka, kesedihan mereka, dan juga kenangan mereka. Saya dapat mengingat orang – orang yang saya cintai selama hidup saya, dan yang pasti tidak akan terlupakan. Bukan tentang mantan, tapi ini tentang pertemanan, persahabatan, dan kekeluargaan dari sebuah ORGANISASI KECIL, tapi saya sebut ini KELUARGA BESAR.

Kita awalnya tidak saling mengenal, tapi ada beberapa yang sudah saling kenal. Dan kisah ini menceritakan sebuah perjalanan epik yang mungkin dibilang dapat terkenang oleh para pemeran dan pelaku dalam cerita ini. Awal cerita pertama sebuah kelompok kelas dipersatukan yang dulunya bernama X – BAHASA, itulah pertama kali kami saling menatap muka untuk yang belum saling mengenal. Kita berawal dari berbagai macam elemen dan sikap. Orang yang pertama saya kenal adalah M. Zaqy atau yang lebih akrab Bang Jeck. Saya pikir dia idiot, dan lebih dari idiot, sampai – sampai dalam satu hari semua buku pelajaran dia bawa, ada buku kosong yang masih baru dan buku smp. Tasnya sudah seperti brankas kejahatan, sekalinya saya buka, langsung diamankan dan saya diancam. Dia adalah orang yang berbadan besar yang pertama  saya lihat dikelas. Tapi saya salah menilai anak ajaib ini, sebenarnya dia memiliki kecerdasan istimewa dan pengetahuan yang luas, apa yang kutanyakan padanya pasti dia jawab. Dia memiliki cita – cita yang sangat tinggi melebihi ayahnya yang bekerja sebagai polisi dan ibunya yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Dia ingin bekerja di luar negeri, seperti ingin bekerja sebagai duta besar Indonesia, atau yang dia inginkan cita – cita yang lebih dari itu. Lalu saya mengenal seorang gadis berkulit hitam manis dan rambut sebahu, namanya Rida Safira. Dia sudah kenal dengan Bang Jeck sejak duduk di bangku sekolah dasar dan mereka satu kelas. Dia duduk di sebelahku, waktu itu formasi tempat duduk kami berbentuk letter U.

Bel istirahat berbunyi, tak satupun dari kami yang keluar kelas. Saya lihat teman – teman yang lain hanya melamun seperti memikirkan sesuatu, ada yang mencari kesibukan, ada yang pura – pura sibuk, ada yang ngobrol dengan teman di pinggirnya, dan saya dengan Bang Jeck asik membuat origami yang dibawa Bang Jeck bawa dari rumah. Tapi tak lama kemudian kita mulai akrab dan saling mengenal satu sama lain karena sebuah proses. Pertama Yogie lalu Egi, dia menghampiri kami berdua dan kamipun mengenal lebih dekat. Tidak hanya dengan laki – laki, saya pun mulai akrab kembali dengan Widya teman lama sewaktu sekolah dasar meskipun tidak satu sekolah. Jujur, kalau saya dekat dengan widya terkadang saya selalu terbawa perasaan, karena dulu saya pernah suka dengan dia waktu saya masih sekolah dasar. Dan karena saking lamanya saya dan Widya satu kelas, jadi terasa bosan untuk mengulangi hal yang sama sewaktu dulu.

Beberapa hari kemudian hadir seorang perempuan berdarah batak yang tinggal di Bandung, namanya Rismawati Nababan. Saya mulai sedikit ada rasa aneh dengan orang ini, karena dari pertama masuk sikapnya seperti so kenal so dekat. Saat jam istirahat, bertambah pula siswa di kelas ini sebanyak lima orang. Saya tahu alasan mereka yang sebernya pindah ke jurusan bahasa, karena mereka tidak ingin bertemu dengan guru matematika yang dibilang “galak” bagi mereka. Sebelum adanya mereka kelas kami sangan tenang dan sunyi, tapi semejak mereka pindah kelas menjadi berisik. Itulah yang pertama kali kita rasakan yang awalnya kami merasa terganggu, tapi kami harus beradaptasi dengan mereka, dan kita juga harus membuat mereka beradaptasi dengan kami. Dan akhirnya kita menciptakan suasana baru walaupun terasa sedikit tidak enak.

Sudah hampir satu bulan kita bersama, dan kelas kita dipindahkan di depan lapangan volly. Hal yang paling lucu pertama kali yang membuat kelas kami tertawa puas dengan guru adalah di saat pelajaran olahraga. Celana seragam Bang Jeck sobek di bagian belakang disaat dia sedang berlari, dia segera pergi ke kelas dan mengganti celananya. Saat dia mengganti celananya, dia tidak pedulikan bahwa dibelakangnya adalah kaca buram. Saya masih ingat warna celana dalamnya , yaitu warna krem. Bang Jeck membuka celananya dibalik kaca buram, meskipun itu kaca buram tetap saja terlihat tampaknya. Kami semua tertawa lepas di sela – sela pelajaran olahraga dan pandangan kami semua terfokus pada kaca buram itu, begipula guru kami.

teman satu bangku saya Yogie Aditya Saputra. Saya selalu bicara tentang sesuatu yang tidak penting tapi asik untuk dibicarakan dengannya. Berbincang dengannya cukup membuatku sedikit ada hiburan dari kebosanan pelajaran di kelas, kadang saya suka jenuh di mata pelajaran matematika. Dan yang duduk dibelakang saya Sabila Surya, si cewek kalem berkulit hitam manis. Sabila adalah seorang wanita yang sedikit pendiam, tapi senyumnya manis. Dia selalu berbincang dengan teman sebangkunya. Namanya Winda Dewi Khoerunisa, bisa dipanggil Winda atau Windew. Terkadang saya selalu kebingungan setiap pembelajaran yang tidak saya pahami. Saya selalu asal jika ada jawaban yang tidak saya ketahui. karena setiap saya kebingungan di setiap pelajaran, ya pasti sumbernya ke dia. Kalo gak ke Sabila ya sumber keduanya Bang Jeck.

    Saya melihat kelas ini seperti sedang ujian walaupun tidak sedang ujian. Kelas ini selalu tidak pernah berisik walaupun tidak ada guru, yang paling dibanggakan adalah kita diakui oleh guru – guru sekolah sebagai kelas terkompak. Meskipun diakui seperti itu, tapi kami tidak merasakannya. Itu adalah hasil dari saling menyesuaikan. Walaupun tak ada guru yang mengajar di kelas kami, kami tidak pernah bersuara keras, pintu selalu tertutup, aktivitas dalam kelas ada yang sedang tiduran, mendengarkan musik, ada yang sedang menulis, dan juga ada yang sedang ngobrol.

    Satu tahun sudah kami lewati, setelah selesai ujian kenaikan kelas kami menikmati libur panjang. Mungkin teman – temanku ada yang sedang berlibur, dan juga ada yang hanya berlibur di rumah. Kami melepaskan semua beban yang pernah memikul otak dari materi – materi yang membuat kami semua berpikir tentang suatu teori. Jika dibayangkan, rasanya ingin berlari di padang rumput yang luas yang ditemani cahaya senja dari langit oranye yang indah dan tertawa berasama – sama seperti anak – anak yang bermain dengan tawa dan riang. Jika diingat – ingat sebelum saya merasakan libur panjang, ada memori yang sangat kuat dan tidak bisa saya lupa dari teman – teman kelas. Saya, Alwin, Widya, Lulu, Winda, Risma, Rida, dan juga Nida. Kami selalu berkumpul didepan kelas lalu membawa bangku di depan pintu kelas untuk sekedar hangout, karena di dalam kelas kami agak sedikit gelap. Yang paling utamanya adalah saat bermain “odong – odong bangku”, dimana saya harus menarik bangku tang di duduki Widya ke belakang dan kaki bangku itu harus ditahan dari belakang. Selama PORAK itulah yang sering saya lakukan dengannya, tapi bukan hanya saya, Alwin dan Risma juga melakukan hal yang sama pada Winda dan Nida.

     Dan jauh sebelum PORAK, saat hari – hari biasa pun kami lakukan saat jam pulang sekolah. Terkadang kami membuat sesuatu, ada yang sedang mengerjakan tugas, ada yang sedang diam saja sambil melihat handphonenya, dan ada juga yang sedang berbincang tatap muka antar teman. Saking kami betah berlama – lama di kelas, terkadang kami sampai pulang sore.s

Kami semua sudah kelas sebelas, dan semakin berat pula beban kita untuk mewujudkan suatu kebersamaan dan mempertahankan kelas terkompak ini. Kami semua memasuki tingkat yang baru dan lebih tinggi dengan jurusan yang sama. Wali kelas kita adalah guru yang sedikit cerewet, tapi dibalik sikap itu hatinya sangat baik dan selalu memberikan kita kesempatan. Awalnya beliau tidak ingin menjadi wali kelas jurusan Bahasa, tapi karena beliau sudah diberikan tanggung jawab untuk membimbing kami semua, beliau jalankan tugasnya sebagai wali kelas. Dosa yang kami buat bersama – sama adalah disaat kami semua merundingkan untuk membuat baju kelas. Kami berpura – pura belum menemukan desain yang cocok untuk baju itu pas disaat Bu Yetty (wali kelas) ingin masuk untuk mengajar pelajaran sejarah. Cecep, dia yang pertama berdiri di depan untuk membahas baju kelas dengan wajah yang berpura – pura serius. Di tengah – tengan perdiskusian itu, saya dan Egi dipaksa angkat bicara. Saya mengusulkan desain lain dan Egi mengusulkan warna dari baju kelas tersebut. Diakhir diskusi itu perasaan saya agak tidak menyenangkan, bu Yetty kesal karena waktu jam mengajarnya dihabiskan hanya untuk membahas baju kelas yang sebenarnya sudah memiliki konsep yang matang. Itu adalah alasan orang yang sudah berusaha untuk daftar ke sekolah ini untuk menimba ilmu yang lebih tinggi tapi disaat menimba ilmu itu malah terlewatkan.

Di kelas dua belas. Seperti adanya perbeda yang membuat kaum hawa membuat kubu. Yang membuat kelas ini agak sedikit terpecah belah adalah disaat kita semua diberi tugas untuk membuat film yang harus diadaptasi dari novel. Awal pembuatan film ini lumayan berjalan lancar, namun saat ditengah pembuatan terjadi perseteruan antara cecep selak sutradara dan yang lainya. Saya tidak membaca pertengkaran mereka di grup chatting kelas, percakapannya lumayan panjang. Dan satu yang saya benci dari cecep adalah disaat dia terlalu menonjolkan bahwa dia yang paling berpengaruh dalam pembuatan film itu, jika tidak ada dia, film tidak akan selesai. Ucapan itu dia lontarkan saat saya dan Cecep selesai shalat di mesjid. Saya sangat kontra dengan perkataannya dan membalas bahwa yang paling berpengaruh adalah kebersamaan dari setiap orang, buka dari satu orang.

Sepertinya sebutan “kelas terkompak” ini hanya sebagai rangkaian kata sata yang cukup untuk hiburan dari setiap orang di kelas ini. Tanpa disadari diantara teman kita ada yang bermusuhan karena masalah yang sepele. Ada yang beranggapan bahwa kelas ini masih kompak seperti dulu. Itu salah, kita terlalu membanggakan sebutan “kelas terkompak” tersebut untuk hiburan di telinga kita. Mungkin sebutan “kelas terkompak” lebih pantas digantikan sebagai “ORGANISASI KECIL tapi KELUARGA BESAR”. Meskipun adanya perpecahan diantara kita kita tetap keluarga, bagaimanapun salah satu diantara kita ada yang membenci kita, dia tetap teman seperjuangan. Saya pernah mendengar dialog dari sebuah kartun anime ternama di Jepang, dia berkata seperti ini “orang yang melanggar peraturan dianggap sampah, tapi orang yang melupakan temannya lebih rendah dari sampah (by : Obito Uchiha)”.

Kita semua telah lulus dari sekolah, diantara kalian ada yang kuliah, ada yang kerja, dan ada juga yang belum mendapatkan pekerjaan mungkinnya. Tapi saya do’akan saja semoga kalian sukses. Dan kini tak ada lagi kegiatan belajar – mengajar bersana lagi seperti di kelas dulu. Saat acara pelepasan siswa pun saya tidak tahu harus memberikan apa untuk teman – teman, tapi apa yang kuberikan selama sekolah tiga tahun pasti berguna. Begitupula apa yang kalian berikan padaku, sangat berguna. Diantara kita ada yang melakukan foto bersama walaupun tidak lengkap, itu akan menjadi simpanan. Saya tahu diantara kalian ada yang sedang bermuka dua dan menyimpan rasa pada teman kalian yang sudah dianggap musuh. Tapi kalian tetap tersenyum dengan tulus.

Adanya acara pelepasan itu banyak yang beranggapan bahwa itu adalah acara perpisahan. Itu salah, bagi saya tidak akan ada yang namanya perpisahan, yang ada hanya menjauh untuk sementara. Dan saya yakin bahwa kita semua akan dipertemukan kembali, entah kapan dan dimana.

Sebulan telah berlalu dari acara itu, dan rasanya ingin kembali melihat canda dan tawa. Yang terlinda dalam fikiran saya adalah dimana kelas terkompak kita? mungkin sudah tidak ada, mungkin nanti kita adalah alumni terkompak. Saya menulis sya’ir pendek yang selalu membayang.

“Kita bukan berpisah,
Tapi hanya menjauh untuk sementara.”
“Sibuklah dengan impian masing-masing,
Tapi jangan lupakan kita.”
“Kita bukan teman, bukan pula sahabat,
Tapi kita keluarga.”

Jika kalian pernah atau menonton sebuah karya film yang berjudul LASKAR PELANGI, dalam film tersebut ada adegan Ikal dengan kawan – kawanya untuk pertama kalinya mereka melihat pelangi yang sangat indah. Lalu guru mereka mengajak mereka untuk pulang dengan memanggil mereka “LASKAR PERLANGI”. Dan bagi kita, kita adalah “LANGUAGE FOUNDATION”. Sebuah kelompok yang dapat memperkuat jati diri bangsa dari sebuah perbedaan yang ada dan dipersatukan oleh BAHASA.







Tamat.
Share:

Posting Komentar

Copyright © 2025 blognya Kevin Attar Abraari. Designed by OddThemes